Sejarah Kedatangan Para Habib ke Hadramaut dan di Nusantara, Ini Fakta yang Harus Anda Tahu
BINARASA - Di Indonesia, para habaib (habib-habib di Indonesia) memiliki sejarah panjang. Salah satu habib yang tercatan dalam sejarah politik nasional adalah Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi atau lebih populer dengan nama Habib Ali Kwitang (Pendiri Majelis Ta’lim Kwitang, Jakarta), Habib Ali Alatas (mantan Menteri Luar Negeri), dan yang belakangan banyak menghiasi berita media nasional, Habib Rizieq Shihab. Selain nama-nama tersebut masih banyak Habib-habib lainnya yang mempunyai pengaruh besar.
Apa keistimewaannya mendapat sebutan habib?
Secara pemaknaan, Dr Quraish Shihab pernah memberikan penjelasan yang lebih detail mengenai Habib. “Habib itu orang yang mengasihi dan dikasihi.
Jadi kalau ‘mengasihi’ dalam bahasa Arab itu artinya ‘muhib’. Kalau ‘yang dikasihi’ itu ‘mahbub’. Kalau ‘habib’, bisa berarti subjek bisa berarti objek. Nah, ‘habib’ tidak boleh bertepuk sebelah tangan, hanya mau dicintai tapi tidak mencintai orang,” ujar Quraish Shihab dalam sebuah wawancara.
Mengutip dari Wikipedia, kata Habib (kata benda dari bahasa Arab: Øبيب, translit. ḥabÄ«b; secara harafiah berarti yang dicintai; kekasih adalah gelar kehormatan yang ditujukan kepada para keturunan Nabi Muhammad ï·º yang tinggal di daerah lembah Hadhramaut, Yaman; Asia Tenggara; dan Pesisir Swahili, Afrika Timur.
Di Indonesia, habib semuanya memiliki moyang yang berasal dari Yaman, khususnya Hadramaut.
Berdasarkan catatan pertumbuhan yang melakukan pencatatan salasilah para habib ini, Ar-Rabithah, ada sekitar 20 juta orang di seluruh dunia yang dapat menyandang gelar ini (disebut muhibbin) dari 114 marga. Dan hanya keturunan laki-laki saja yang berhak menyandang gelar habib.
Sejarah Kedatangan Habib di Hadhramaut
Ahmad bin Isa diketahui melakukan hijrah dari Basra ke Hadhramaut (Yaman) bersama keluarganya pada tahun 317 H untuk menghindari Dinasti Abbasiyah yang sedang berkuasa pada saat itu.
Sebelum ke Yaman, Ahmad bin Isa diketahui pernah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah, dia kemudian tinggal di dekat kuburan buyutnya.
Di Madinah, beredar isu bahwa para keturunan Rasul akan mengambil alih kekuasaan. Isu tersebut membuat pemerintah yang berkuasa saat itu cemas sehingga banyak keturunan Nabi yang diburu dan bahkan dibunuh. Karena hal itu lah, akhirnya Ahmad bin Isa dan keluarganya memutuskan untuk berhijrah.
Sementara, versi lain mengatakan bahwa Ahmad bin Isa adalah seorang yang ‘alim, ‘amil (mengamalkan ilmunya), hidupnya bersih dan wara’ (pantang bergelimang dalam soal keduniaan). Di Iraq beliau hidup terhormat dan disegani, mempunyai kedudukan terpandang, dan mempunyai kekayaan cukup banyak.
Baca juga: 5 Fakta Mengejutkan tentang Etnis Moro di Filipina Selatan yang Tidak Banyak Diberitakan Media
Mereka hijrah ke Hadhramaut bukan karena dimusuhi atau dikejar-kejar oleh penguasa, melainkan karena lebih mementingkan keselamatan akidah keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadhramaut mengikuti contoh kakek buyutnya, yaitu Muhammad Rasulullah ï·º yang hijrah dari Mekah ke Madinah.
Ahmad bin Isa wafat di Husaisah, salah satu desa di Hadhramaut, pada tahun 345 Hijriah. Beliau mempunyai dua orang putera yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang putera yaitu Alwi (Alawi), Jadid, dan Ismail.
Pada akhir abad ke-6 H keturunan Ismail dan Jadid dikatakan tidak mempunyai kelanjutan, sehingga mereka punah dalam sejarah, sedangkan keturunan Alwi tetap berlanjut.
Keturunan dari Alwi inilah yang kemudian dikenal dengan kaum Alawiyin. Maka, secara khusus, istilah “Habib” mengacu kepada keturunan Alwi bin Ubaidillah (wafat awal abad ke-5 H).
Ahmad bin Isa semasa hidupya dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan berbudi tinggi. Selain itu, beliau adalah keturunan Nabi Muhammad ï·º, sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa beliaulah pewaris agama Islam serta Ahlul Bait yang sah.
Berdasarkan fakta tersebut, maka dalam perkembangannya, wilayah Hadhramaut menjadi semacam “sekolah” bagi orang-orang yang ingin menimba ilmu agama Islam, walaupun sebenarnya di sana tidak ada institusi formal. Hubungan antara murid dan guru di sana lebih diikat dalam bentuk ikatan spiritual. Di kemudian hari sekolah Hadhramaut dikenal memiliki aliran tersendiri yang disebut al-tariqa al-Alawiyya (Tarikat Alawiyin).
Para Habib di Indonesia
Seperti dikutip Musa Kazhim, para Habib masuk ke Indonesia terjadi beberapa tahap. Tahap pertama kedatangan para habib dijelaskan oleh dua habib terkemuka, yaitu Sayid Alwi bin Thahir Al-Haddad (1957) dan Sayid Muhammad Naquib Al-Attas (1972 dan 2011).
Para pembawa Islam kali pertama adalah para Habib pedagang dari Hadhramaut. Aceh merupakan daerah pertama berlabuhnya para Habib tersebut.
Bukti dari kehadiran para Habib tersebut dapat dilacak dari keberadaan kuburan kaum Hadhrami di Aceh.
Nama keluarga atau marga yang dipakai oleh keturunan bangsa Arab yang berasal dari daerah Hadramaut, Yaman. Penamaan marga sendiri dipilih berdasarkan kabilah, tempat asal, sejarah, kebiasaan, atau sifat serta nama nenek moyang golongan tersebut.
Golongan pertama yaitu marga-marga keturunan suku Arab Yaman asli, umumnya mengklaim sebagai keturunan Hadhramaut bin Gahtan, yang merupakan keturunan Nabi Nuh.
Golongan kedua yaitu marga-marga suku Arab yang hijrah dari Basra, Iraq. Golongan ini merupakan keturunan Ahmad bin Isa al-Muhajir (biasa disebut Alawiyyin atau Ba Alawi) serta para pengikutnya yang datang ke Yaman sekitar tahun 319 H (898 M). (WikiPedia)
Proses Islamisasi oleh Para Habib di Nusantara
Tahap pertama proses Islamisasi Nusantara oleh para habib terjadi pada abad-abad pertama Hijriah.
Mengingat jauhnya jarak dari tempat turunnya wahyu dan keterbatasan teknologi transportasi, keberhasilannya masih terbatas pada wilayah-wilayah tertentu yang amat terbatas dan belum lagi mampu mencapai wilayah-wilayah lain di seluruh penjuru negeri.
Taha kedua, Musa Kazhim menjelaskan bahwa para Habib Alawiyin keturunan ‘Ali dan Fâthimah binti Rasulullah ï·º tersebut datang pada abad ke-14 M. Pada periode ini, dakwah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga dapat tersebar di seluruh penjuru Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Perkembangan tersebut mencapai puncaknya pada abad ke-15 hingga abad ke-17 M.
Dalam sejarahnya, Ketua Dewan Pimpinan Rabithah Alawiyah, Habib Zein bin Umar bin Smith mengungkap, dzurriyah (keturunan) habib itu dimulai dari Imam Ahmad Bin Muhazir yang melakukan perjalanan dari Basra ke Hadhramaut (Yaman Selatan). Setelah berkembang banyak, mereka melakukan perjalanan ke Asia Timur dan masuklah ke Indonesia.
Mereka datang melalui Aceh, dan wilayah barat lainnya. Kemudian masuklah Wali Songo ke daerah Demak dan selanjutnya menyebar ke arah Jawa Timur. Setelah itu, masuklah gelombang kedua di abad 19 dan 20. Mereka langsung dari Yaman, merekalah yang disebut Sayyid. Akan tetapi, kata Habib Zein, tidak semua keturunan Rasulullah ï·º bisa disebut Habib. Sebab, hal itu harus dijabarkan berdasarkan silsilah terlebih dahulu.
Bagaimana keturunan Nabi ini masuk ke Asia Tenggara? Keturunan Muhammad al-Faqih Muqaddam dibagi menjadi dua. Yang banyak mungkin yang Anda kenal Syekh Abu Bakar, keluarga al-Attas, keluarga Al Habsy. Satu lagi dari ami (ibu) Faqih Muqaddam itu keluarga seperti kita, Al Hadad, bin Smith—itu semua dari Amir Faqih.
Kebanyakan keturunan Faqih Muqaddam masih di Hadramaut, banyak yang hijrah ke arah India. Mereka ada di Gujarat, dan keturunan inilah yang masuk ke Indonesia lewat Aceh. Lalu keturunan ini ada juga yang pergi ke Thailand dan Kamboja—ini kebanyakan keturunan dari Abdul Malik.
Karena Abdul Malik itu diangkat mantu oleh raja, dia mendapat titel Al Ahmad Khan. Pergi ke Indonesia lewat Aceh, lalu turun ke Palembang dan kemudian ke Jawa. Keluarga Ahmad Khan ini yang menurunkan Wali Sanga.
Sumber:
Hidayatullah.Com