Trending Dugaan KDRT Lesti Kejora, Hukum Islam: 4 Syarat & Batasan Suami Boleh Memukul Istrinya
BINAJATI – Saat ini beredar kabar yang menyebutkan dugaan kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT dengan korban Lesti Kejora. Dikutip Sahijab dari laman Intipseleb, pedangdut tersebut diduga melaporkan suaminya, Rizky Billar yang sontak membuat heboh warganet.
Pasalnya, pasangan yang baru menikah seumur jagung itu kerap memamerkan kemesraan di akun media sosialnya. Apalagi kini ada buah hati yang 'memeriahkan' rumah tangga keduanya. Namun, apakah dibenarkan dalam islam jika seorang suami memukul istrinya?
Tentunya ini harus jadi pengetahuan bagi umat muslim, bagaimana suami harus bersikap kepada istrinya. Dan kapan boleh melakukan pemukulan dan seperti apa, sehingga tidak boleh dianggap sebagai pembenaran.
Dikutip NU Online, disebutkan bahwa seorang suami mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Sebagaimana pula istri mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suaminya. Nah dalam konteks seperti ini, ketika istri tidak memenuhi hak-hak suaminya, maka suami diberi kewenangan oleh Al-Qur’an untuk mengarahkan atau mendidik istrinya agar kembali mematuhi atau memenuhi hak suaminya.
Bagaimana cara suami untuk mendidik istrinya sesuai tuntunan Islam? Caranya dengan tiga tindakan berurutan dan sistematis. Hal ini berdasarkan petunjuk Al-Qur'an Surat An-Nisa’ ayat 34:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا [النساء/34
Artinya, “Istri-istri yang kalian khawatirkan melakukan pembangkangan (tidak memenuhi hak suami), maka nasehatilah mereka, diamkan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Bila mereka menaati kalian, maka jangan kalian cari jalan untuk merugikan mereka.”
Faktanya, diksi “wadhribuhunna” atau “dan pukullah mereka” inilah yang kemudian disalahpahami, bahwasanya Al-Qur’an membolehkan suami memukul istrinya, lalu dijadikan pembenaran tindakan KDRT.
Batasan Suami Diperbolehkan Memukul Istrinya
Pertama, tujuan utamanya adalah mendidik istri agar kembali menaati atau memenuhi hak suami. Karenanya selama masih bisa diambil tindakan yang paling ringan, maka tidak boleh mengambil tindakan yang lebih berat. Dalam hal ini Imam Fakhurddin Ar-Razi menegaskan, bagaimanapun mengambil tindakan yang paling ringan sangat diperintahkan dalam hal ini, yaitu dengan cara menasihati. (Sulaiman bin Umar al-Bujairami, at-Tajrîd linaf’il ‘Abîd, [Turki, al-Makatabah al-Islamiyyah], juz III, halaman 422) dan (Fakhruddin Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, [Beirut, Dârul Kutub ‘Ilmiyyah: 1421/2000], juz X halaman 73).
Kedua, bila terpaksa mengambil tindakan akhir dengan memukul, maka hanya hanya diperbolehkan memukul dengan cara yang tidak menyakitkan atau menimbulkan luka. Seperti memukul dengan siwak, sikat gigi dan semisalnya. Bukan malah sebaliknya, memukul dengan pukulan kriminal yang mematikan, bisa mengakibatkan cacat permanen, luka berdarah, patah tulang, hingga membuat membuat lebam. Selain itu, dilarang keras memukul wajah dan bagian-bagian tubuh yang membahayakan, tidak boleh memukul di satu bagian tubuh secara berulang-ulang, dan tidak boleh pula memukul di luar rumah. (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân, [Muassasatur Risâlah: 1420/2000], juz VIII, halaman 314) dan (Mausû’ah al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Wizaratul Auqâf: 1427], juz XL, halaman, 298-299).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tepatnya pasal 6 yang menyatakan, “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.”Ketiga, sebelumnya tidak didahului oleh permusuhan atau pertikaian antara suami istri. Bila sebelumnya sudah terjadi pertikaian, maka suami tidak boleh memukul istri; meskipun dalam rangka mendidiknya. Bila istri masih membangkang atau tidak memenuhi hak suami, jalan satu-satunya adalah melaporkan kepada hakim, bukan main hakim sendiri. (Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Hâsyiyah I’ânatut Thâlibîn, [Beirtut: Dârul Fikr], juz IV, halaman 83).
Keempat, bila istri hanya akan jera dengan pukulan yang membahayakan maka suami sama sekali tidak boleh memukul istri, baik pukulan yang ringan apalagi yang membahayakan dengan alasan apapun. (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj dicetak bersama Hawasyîs Syirwani, [Beirut, Dârul Fikr], juz VII, halaman 455).
Dengan mengetahui detail ketentuan seperti dalam uraian, semestinya tidak terjadi lagi kesalahpahaman atas kebolehan suami memukul istri dalam lingkup kehidupan keluarga. Memang, kehidupan keluarga adalah kehidupan yang sangat dinamis. Kadang bahagia, kadang duka. Kadang rukun, kadang berdebat dan bertukar pendapat.
Namun bagaimanapun kondisinya, tidak ada alasan apapun membenarkan suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri. Apalagi sampai membawa-bawa ajaran Islam sebagai alasan pembenarannya.
4 Syarat Anda Boleh Memukul Istri
Islam telah memberikan solusi kepada laki-laki yang telah memiliki istri ketika istrinya berbuat nusyuz. Caranya adalah menasihatinya. Ketika nasihat suami tidak tembus, suami bisa menggunakan solusi lainnya, yakni memisahkan diri dari ranjang. Suami diperbolehkan memukulnya dengan beberapa syarat ketika istri tetap tak taat.
"Namun, tidak kemudian suami memukul istri seenaknya sendiri, melainkan syariat Islam sudah memberikan syarat-syaratnya," kata Ustadz Syafri Muhammad Noo Lc dalam bukunya Ketika Isteri Berbuat Nusyuz, seperti yang dikutip laman Republika.Co.ID.
Selanjutnya Ustadz Syafri mengatakan, setidaknya ada empat syarat suami boleh memukul istri.
Syarat pertama, di antara etika memukul istri adalah tidak memukul dengan pukulan yang keras dan meninggalkan bekas sampai patah tulang atau mengakibatkan bagian tubuh rusak atau bengkak dan semacamnya. "Karena maksud dari memukul tersebut adalah untuk mendidik, bukan melukai fisik sang istri," katanya.
Karena itulah, tidak diperbolehkan jika memukul seperti halnya memukul musuhnya. Nabi SAW ketika haji wada’ pernah memberikan nasihat.
وإنَّ لكم عليهنَّ ألَّا يُوطِئْنَ فُرُشَكم أحدًا تَكرَهونَه فإنْ فَعلْنَ ذلك فاضْرِبوهنَّ ضَرْبًا غيرَ مُبرِّحٍ
"Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas." (HR Muslim no 1218).
Syarat kedua, di antara etika memukul istri adalah tidak memukul di area wajah dan area-area yang bisa mematikan fungsinya. Adapun dalilnya adalah sabda Nabi SAW ketika ditanya tentang hak istri atas suaminya, lalu beliau menjawab sebagai berikut,
"Di antara kewajibanmu (para suami) kepada mereka (para istri): engkau memberinya makan ketika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul wajahnya, dan jangan pula menghinanya, dan jangan pula meng-hajr (memboikot) dirinya kecuali di dalam rumah." (Hadits sahih. Riwayat Abu Dawud (VI/180 no 2128), Ibnu Majah (I/593 no 1850), dan Ahmad (IV/447), dari Mu’awiyah bin Hairah RA).
Al-Bahuty menjelaskan alasan mengapa tidak diperbolehkan suami memukul wajah istrinya adalah sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan wanita. Sebab, wajah adalah salah satu tolok ukur dari keindahan wanita.
Syarat ketiga, suami harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa pukulannya terhadap sang istri dapat membuat istrinya jera. Sebab, pukulan tersebut hanyalah merupakan sarana untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri. Sebaliknya, pukulan ini tidaklah disyariatkan ketika suami berkeyakinan bahwa tujuan untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri tidak akan bisa tercapai dengan cara ini.
Imam ar-Ramli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj menjelaskan. "Jika diketahui bahwa pukulannya tersebut tidak bisa memberikan efek, hal tersebut haram untuk dilakukan karena hukuman tersebut tidak berfaedah, sedangkan adanya pukulan itu bertujuan untuk efek jera secara mutlak," katanya.
Syarat keempat, jika istri berhenti berbuat nusyuz dan telah menaati suaminya, tidak boleh suami memukulnya lagi karena esensi dari memukul adalah sebagai wasilah/perantara saja, bukan sebagai tujuan. Kalau sampai suami masih memukul istri, padahal istri sudah tidak berbuat nusyuz, ini adalah tindakan zalim. Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 34 berfirman sebagai berikut.
وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
"Dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar."
Menurut Ustadz Syafri, Imam al-Qurthubi menjelaskan tentang tafsir dari ayat tersebut bahwa ketika istri tidak lagi berbuat nusyuz, hendaknya sang suami tidaklah menganiaya istrinya, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Karena itulah, tidak diperbolehkan jika memukul seperti halnya memukul musuhnya. Nabi SAW ketika haji wada’ pernah memberikan nasihat.
وإنَّ لكم عليهنَّ ألَّا يُوطِئْنَ فُرُشَكم أحدًا تَكرَهونَه فإنْ فَعلْنَ ذلك فاضْرِبوهنَّ ضَرْبًا غيرَ مُبرِّحٍ
"Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas." (HR Muslim no 1218).
Syarat kedua, di antara etika memukul istri adalah tidak memukul di area wajah dan area-area yang bisa mematikan fungsinya. Adapun dalilnya adalah sabda Nabi SAW ketika ditanya tentang hak istri atas suaminya, lalu beliau menjawab sebagai berikut,
"Di antara kewajibanmu (para suami) kepada mereka (para istri): engkau memberinya makan ketika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul wajahnya, dan jangan pula menghinanya, dan jangan pula meng-hajr (memboikot) dirinya kecuali di dalam rumah." (Hadits sahih. Riwayat Abu Dawud (VI/180 no 2128), Ibnu Majah (I/593 no 1850), dan Ahmad (IV/447), dari Mu’awiyah bin Hairah RA).
Al-Bahuty menjelaskan alasan mengapa tidak diperbolehkan suami memukul wajah istrinya adalah sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan wanita. Sebab, wajah adalah salah satu tolok ukur dari keindahan wanita.
Syarat ketiga, suami harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa pukulannya terhadap sang istri dapat membuat istrinya jera. Sebab, pukulan tersebut hanyalah merupakan sarana untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri. Sebaliknya, pukulan ini tidaklah disyariatkan ketika suami berkeyakinan bahwa tujuan untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri tidak akan bisa tercapai dengan cara ini.
Imam ar-Ramli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj menjelaskan. "Jika diketahui bahwa pukulannya tersebut tidak bisa memberikan efek, hal tersebut haram untuk dilakukan karena hukuman tersebut tidak berfaedah, sedangkan adanya pukulan itu bertujuan untuk efek jera secara mutlak," katanya.
Syarat keempat, jika istri berhenti berbuat nusyuz dan telah menaati suaminya, tidak boleh suami memukulnya lagi karena esensi dari memukul adalah sebagai wasilah/perantara saja, bukan sebagai tujuan. Kalau sampai suami masih memukul istri, padahal istri sudah tidak berbuat nusyuz, ini adalah tindakan zalim. Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 34 berfirman sebagai berikut.
وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
"Dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar."
Menurut Ustadz Syafri, Imam al-Qurthubi menjelaskan tentang tafsir dari ayat tersebut bahwa ketika istri tidak lagi berbuat nusyuz, hendaknya sang suami tidaklah menganiaya istrinya, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Trending Dugaan KDRT Lesti Kejora, Hukum Islam: 4 Syarat & Batasan Suami Boleh Memukul Istrinya
Reviewed by Tabib Wira
on
September 29, 2022
Rating: