Idul Adha Ikut yang Mana? Cek Dalilnya dan Penjelasan Para Ulama
BINAJATI - Idul Adha tahun 2022 ini kembali terjadi perbedaan hari. Pemerintah Arab Saudi sudah mengumumkan jatuhnya pada tanggal 9 Juli. Dan tanggal 8 Julinya adalah wukuf di Arafah.
Faktanya, Pemerintah Indonesia menyatakan tanggal 10 Juli setelah tidak ada rukyah hilal pada 29 Juni kemarin. Sedangkan jamaah Muhammadiyah, dengan metode hisabnya sudah jauh hari menetapkan Idul Adha pada tanggal 9 Juli.
Lalu, kita mau ikut yang mana? Ikut hasil rukyah Indonesia atau hasil rukyah Saudi? Atau ikut hasil hisab saja? Kalau ikut hasil rukyah Indonesia, puasa Arafahnya bagaimana? Hal tersebut di antara pertanyaan dan kegalauan yang muncul di tengah masyarakat tentang perbedaan pelaksaan Idul Adha di Indonesia. Maka, dalil dan penjelasan para Ulama berikut bisa menjadi penerang amal Anda.
Pertama, berhari raya dengan hasil rukyah negara masing-masing adalah amalan Sahabat dan Tabi'in, dan salah satu pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi'i. Bahkan Syekh Utsaimin, Ulama besar Arab Saudi juga menfatwakan hal yang sama.
Imam Muslim meriwayatkan dari Kuraib–, bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib meceritakan: "Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah."
Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas ra. bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib. Ibnu Abbas menjelaskan:
لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ
Artinya: "Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?” Ibnu Abbas ra menjawab:
لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim no. 1087).
Maka Ibnu Abbas yang berada di Madinah berpuasa dengan rukyah Madinah, tidak dengan hasil Rukyah negeri Syam (Khalifah Muawiyah). Padahal Beliau sudah diberitahu hasil Rukyah negeri Syam. Dan tidak main-main Ibnu Abbas memberikan jaminan dan menyatakan: "Begitu Rasulullah Saw mengajarkan."
Imam An Nawawi ra. menyatakan tentang hadits Kuraib ini, “Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya.” (Syarah Nawawi).
Kedua, kalau kita ikut hasil rukyah Indonesia, lalu Idul Adhanya tentu pada tanggal 10 Juli, dan puasa Arafahnya pada tanggal 9 Juli. Bagaimana ini? Orang kan wukuf di Arafah pada tanggal 8 Juli?
Puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Zulhijah. Bukan puasa ketika orang wukuf di Arafah. Alasannya, syariat Idul Adha dan puasa 9 Zulhijjah lebih dahulu dari pada syariat kewajiban haji. Idul Adha sudah disyariatkan pada tahun ke 2 Hijriah. Sedangkan Ibadah haji baru disyariatkan pada tahun ke 6 Hijriah. Dan Rasulullah Saw baru berhaji pada tahun ke 10 H.
Jadi, Rasulullah sudah beridul Adha dan puasa 9 zulhijah jauh sebelum wajibnya ibadah haji, jauh sebelum adanya wukuf di Arafah. Dan kalau puasa Arafah itu puasanya harus bersamaan dengan saat orang wukuf di arafah, maka kaum muslimin yang berada di negara yang berbeda 10 jam atau lebih dari Arab Saudi, tidak akan pernah bisa melaksanakan puasa Arafah. Karena, saat mereka berpuasa, wukuf sudah selesai, dan Arafah sudah kosong.
Ketiga, semua kita menginginkan bersatunya umat Islam dalam hari raya dan Ramadhan. Namun itu belum juga kesampaian. Namun paling tidak, mari kita saling menghormati dan menjaga hati, agar kita tetap satu.
Yang memilih hasil rukyah Pemerintah, silahkan. Jelas itu ada landasannya. Yang memakai hasil rukyah Arab Saudi, itu juga memungkinkan, karena adanya pendapat dalam madzhab Syafii yang memakai rukyah internasional. Dan yang menggunakan hasil hisab Muhammadiyah, juga dipersilakan. Itu juga dengan landasan-landasan ilmiah yang terpercaya.
Taqabbalallahu minnaa wa minkum shaalihal a'mal. Damailah Indonesiaku. [Oleh: Ustadz Irsyad Syafar, Lc, M.Ed]