Profil Lengkap Hasan Al-Bashri, Ulama Besar Ahli Tasawuf
BINAJATI - Hasan Al-Bashri adalah seorang sufi dari kalangan tabi’in yang lahir di Madinah pada tahun 21 H/ 632 M dan meninggal di Bashrah tahun 110 H/728 M. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar. Ibunya bernama Khairah, seorang hamba sahaya milik Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad Saw. Sedangkan ayahnya bernama Yasir, seorang pria keturunan Persi, yang juga hamba sahaya milik Zaid bin Tsabit, salah satu sahabat Rasulullah Saw.
Hasan Al-Bashri pada lahir pada masa-masa terakhir kekhalifahan Umar bin Khattab dan menjalani sebagian besar kehidupannya pada masa daulah Bani Umayyah.
Ia tinggal di Madinah dan Wadi Al-Qur’an hingga usianya belasan dan kemudian pindah ke Bashrah saat usianya 14 tahun bersama keluarganya. Sejak saat itulah ia dikenal dengan sebutan Hasan Al-Bashri atau Hasan yang berasal dari Bashrah. Pada masa kecilnya ia bisa dibilang seorang anak yang cemerlang, ia sudah hafal Al-Qur’an pada saat usianya masih belasan. Hal ini tidak terlepas dari lingkungan tempatnya tumbuh, yaitu berada di lingkungan yang berisi orang-orang yang saleh.
Pendidikan pertamanya ditempuh di Hijaz, dan berguru hampir kepada semua ulama di kota tersebut. Kepindahannya ke Bashrah berperan penting dalam perkembangan keilmuannya. Bashrah pada saat itu merupakan salah satu kota pusat keilmuan yang memiliki perkembangan ilmu pengetahuan yang luas, sehingga banyak tabi’in yang singgah disana untuk memperdalam keilmuan. Metode pendidikan yang berkembang pada masa itu adalah halaqah, Hasan Al-Bashri sendiri rutin mengikuti halaqah Abdullah bin Abbas, sahabat Rasulullah Saw yang dijuluki “Penafsir Al-Qur’an dan tinta umat”, dalam halaqah tersebut ia mempelajari tafsir, hadis, serta qira’at. Ia juga mempelajari bidang fikih, bahasa, dan satra dari sahabat lainnya.
Kehidupan keilmuannya yang sering ditempuh dengan beberapa sahabat Nabi, membuat ilmu yang dimilikinya menjadi semakin luas, ia menjadi seorang alim yang menguasai banyak cabang keilmuan, sehingga pada saat usianya hampir menginjak 20 tahun, ia sudah mulai banyak memberikan nasihat-nasihat keagamaan kepada khalayak ramai. Banyak orang yang datang mengelilingi Hasan Al-Bashri untuk menimba ilmu dan menerima nasehat-nasehat darinya yang menyejukkan hati. Sehingga halaqahnya pada saat itu menjadi halaqah terbesar dengan jumlah pengikut terbanyak.
Hasan Al-Bashri kemudian menjelma menjadi seorang sufi besar, ia dikabarkan sudah bertemu dengan 70 orang sahabat yang menyaksikan perang badar dan 300 orang sahabat lainnya. Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa diantara para sahabat yang pernah ditemuinya tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah dan Aisyah binti Abu Bakar.
Pemikiran Tasawuf Hasan Al-Bashri
Hasan Al-Bashri adalah orang pertama yang mengajarakan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha penyucian diri yang dilakukannya di Masjid Bashrah. Ajaran kerohanian yang diberikannya selalu dilandaskan kepada sunnah Nabi yang kemudian mengarah pada tasawuf. Prinsip dasar ajarannya adalah zuhud atau menghindari kesenangan dan kenikmatan duniawi, yang mana prinsip zuhud telah mencakup aspek kemurnian akhlak dan penyucian diri.
Pemikiran zuhud Hasan Al-Bashri dilatarbelakangi oleh keprihatinannya atas kondisi politik dan pemerintahan itu, para petinggi Daulah Umayah cenderung menjalani kehidupan yang glamor dan senang berfoya-foya, sehingga menjauhkan dirinya dari Allah dan ajaran-Nya. Ia secara terbuka mnegkritik sikap kalangan petinggi tersebut atas gaya hidup mereka. Ia senantiasa hidup dengan sederhana dan benar-benar menjauhi bermacam-macam kenikmatan dunia, atau disebutnya sebagai bersikap rihatin terhadap dunia.
Hasan Al-Bashri adalah seseorang yang zuhud dan wara’, ia mengumpamakan bahwa dunia itu seperti ular, terasa mulus jika disentuh oleh tangan tetapi bisa yang ada padanya dapat mematikan. Sehingga kenikmatan dan kemegahan duniawi harus ditolak. Selanjutnya menurut Hasan Al-Basri, zuhud adalah memerlukan dunia sebagai jembatan yang hanya sebatas dilalui saja tanpa perlu membangun apapun di dalamnya.
Dasar dari ajaran zuhud Hasan Al-Bashri adalah menolak segala kenikmatan dunia, hanya semata menuju kepada Allah, tawakal, khauf dan raja’. Konsep zuhud tersebut diekspreksikannya dalam kehidupannya sehari-hari, sehari-hari ia sedikit makan, dan tidak terikat oleh makanan dan minuman. Ia membagi zuhud menjadi dua tingkatan, yaitu zuhud terhadap barang yang haram dan yang kedua dalam tingkatan yang lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang yang halal, yang ia sendiri telah mencapai tingkatan yang kedua yang dapat dilihat dari kehidupan sehari-harinya tersebut.
Dalam ajaran kezuhudannya terdapat unsur khauf (takut) dan raja’(pengharapan). Maksud dari prinsip takut dan pengharapan disini adalah takut akan siksa dan murka Allah swt. akibat lalai dalam melakukan perintah-Nya yang disertai dengan harapan akan rahmat-Nya. Hasan Al-Bashri meyakini bahwa khauf merupakan ibadah hati dan sama degan memetik amal shaleh. Semakin tinggi rasa ketakutan seseorang, maka semakin tinggi kadar pengabdiannya kepada Allah dan semakin tinggi pula tingkat pengharapannya kepada karunia-Nya.
Menurut Hasan Al-Bashri, orang yang beriman mengalami dua macam ketakutan selama hidupnya, yaitu karena dosa-dosanya yang telah lalu dan karena ia tidak tahu secara persis apa yang akan menimpanya akibat dosanya tersebut, sedangkan ia juga tidak mengatahui sampai kapan sisa umurnya. Maka hal itu akan menjadi pendorong bagi dirinya untuk melakukan amal sholeh disertai ketundukan dan kerendahan hati dengan mengharap pada rahmat dan karunia Allah.
Prinsip khauf Hasan Al-Bashri terlihat jelas dalam kehidupannya sehari-hari, ia selalu bersedih dan takut apabila ia lalai dalam beribadah,menjalankan perintah serta menjauhi larangan Allah, begitu takutnya ia akan murka-Nya hingga ia merasa bahwa neraka diciptakan hanya untuknya. Ia dipandang sebagai orang yang memiliki sifat khauf paling dalam pada masanya, bahkan ia terlihat seperti seseorang yang sedang ditimpa musibah setiap saat.
Pengaruh Hasan Al-Bashri terhadap Perkembangan Tasawuf
Hasan Al-Bashri memiliki pengaruh yang besar bagi dunia keilmuan khususnya tasawuf pada masa itu dan masa selanjutnya.
Dasar-dasar ajaran zuhud beserta unsur-unsurnya yang ia kemukakan, kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh tasawuf yang ada selanjutnya dengan beberapa perbedaan, sesuai dengan kemampuan dan pengalaman pribadi para sufi itu sendiri. Di antara mereka ada yang memilih dzikir, taawadhu’, melakukan pengasingan diri, menjalani kehidupan sederhana, dan merenungkan serta memikirkan kebesaran Tuhan, dan keindahan ciptaan-Nya.
Di antara tokoh sufi yang mengembangkan ajarannya dari Hasan Al-Bashri adalah Rabi’ah al-Adawiyah yang mengembangkan konsep khauf dan raja’ milik Hasan Al-Bashri dengan meningkatkan kehidupan zuhud tersebut dengan menambahkan unsur cinta (mahabbah) dengan pengertiannya yang hakiki dan sempurna.
Demi melakukan pengembangan atas ajaran tasawufnya, Hasan Al-Bashri juga mendirikan sebuah pusat keilmuan yang disebut dengan Madrasah al-Hasan al-Bashri. Madarasah tersebut merupakan sebuah forum untuk berdiskusi dan mengajarkan nilai-nilai keislaman. Ia mengajarkan materi-materi pendidikannya dengan dua cara. Pertama, ia menyeru kepada murid-muridnya untuk menghidupkan kembali kondisi masa salaf seperti pada masa Rasulullah Saw dan yang kedua adalah menyeru kepada muridnya untuk bersikap zuhud terhadap dunia.
Dengan kedalaman dan keluasan ilmu yang dimilikinya, muncullah banyak dari kalangan muridnya yang menjadi tokoh terkemuka dalam bidangnya masing-masing, di antara tokoh yang menjadi muridnya adalah Wasil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid (tokoh pembesar aliran Muktazilah), Qatadah bin Di’amah as-Sadusi (perawi hadis dari Bashrah), Malik bin Dinar (seorang ulama dan zahid), dan Muhammad bin Wasi’ al-Azadi al-Basri (ulama dan ahli qiraat dari Bashrah).
Begitu dalam dan luas keilmuan dari Hasan Al-Bashri, sehingga banyak tokoh yang memberi pujian kepadanya, seperti Abu Qatadah yang menyatakan: “Bergurulah kepada syekh ini. Saya sudah menyaksikan sendiri. Tidak ada satu tab’in pun yang menyerupai sahabat Nabi selainnya”. Dan juga dari Anas bin Malik, seorang sahabat Nabi periwayat hadis, yang mengatakan bahwa apabila ingin menanyakan pertanyaan agama, Anas memerintahkan orang lain untuk menemui Hasan Al-Bashri.
Beberapa ulama bahkan menyebut nama Hasan Al-Bashri dalam kitab tasawuf mereka, di antaranya ada Qut al-Qulub karangan Abu Thalib al-Makki, Tabaqat al-Kubra karangan al-Sya’rani, dan Hilyah al-Auliya karangan Abu Nu’aim. Hal ini membuktikan kemasyhuran Hasan Al-Bashri dalam hal keilmuan pada saat itu.
Karya-karya Hasan Al-Bashri
Mengenai karya dari Hasan Al-Bashri sendiri, masih terdapat perbedaan pendapat dari beberapa ulama. Imam Abu Zahrah berpendapat bahwa Hasan Al-Bashri tidak meninggalkan karya sama sekali, dan perkataan-perkatannya yang diketahui saat ini berasal dari riwayat muridnya. Sementara itu Ibnu Nadim berpendapat bahwa Hasan Al-Bashri pernah menulis sebuah kitab dan beberapa risalah. Yaitu sebuah kitab berjudul al-‘Adad atau ‘Adad Ayi Al-Qur’an Al-Karim, yang membahas tentang jumlah ayat yang ada di dalam Al-Qur’an.
Sedangkan risalah-risalah yang pernah ditulis oleh Hasan Al-Bashri antara lain; Risalah al-ikhlas yang membahas mengenai keikhlasan, Risalah Fada’il Makkah wa as-Sakan fih yang membahas mengenai keutamaan kota Mekkah dan ketenangan di dalamnya, Risalah Faraid ad-Din yang membahas mengenai kewajiban-kewajiban terhadap agama, dan Risalah Sifatul Imami al-Adil yang merupakan sepucuk surat nasihat yang ditulis oleh Hasan Al-Bashri kepada Umar bin Abdul Aziz mengenai kepribadian dan karakter dari seorang pemimpin muslim yang adil terhadap rakyatnya.
Selain itu di Maktabah Timur, Kairo terdapat beberapa manuskrip yang dinisbatkan kepada Hasan Al-Bashri yaitu Syurut al-Imamah yang membahas mengenai syarat-syarat bagi seorang pemimpin, Wasiyyah an-Nabi li Abi Hurairah yang berisikan nasihat dari Rasulullah Saw untuk Abu Hurairah, dan yang terakhir adalah al-Istigfarat al-Munqizat min an-Nar yang membahas bacaan istighfar yang dapat menyelamatkan dari api neraka.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas kita bisa mengambil keteladanan dari Hasan Al-Bashri, baik dalam keilmuannya maupun dalam prinsip kehidupannya.
Penulis: Awwalina Mukharomah, Mahasiswi dari Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang