Penanggalan Kalender Jawa: Cek Weton, Hari Pasaran, Wuku & Asal-usul
BINARASA - Dalam masyarakat Jawa, sampai saat ini masih digunakan penanggalan Jawa untuk berbagai keperluan. Baik itu yang bersifat perorangan, maupun kelompok (komunitas). Contoh, untuk menentukan hari baik saat mempunyai hajat, biasanya masyarakat Jawa akan ngitung dulu hari pasaran, weton.
Selain untuk keperluan perorangan, penanggalan Jawa juga dimanfaatkan untuk menandai aktifitas dalam suatu komunitas. Misal jadwal rapat rutin RT akan dijadwalkan tiap hari pasaran tertentu sesuai yang disepakati. Penjadwalan khatib jumat ditentukan berdasarkan hari pasaran, misal Ustad Si Fulan dijadwalkan menjadi khatib setiap Hari Jum'at Pon. Dan tak terkecuali untuk pasar tradisional juga ditandai hari tertentu tingkat keramaiannya. Contoh pasar tradisional di Prambanan akan ramai pengunjung saat pasaran Legi dan Pon.
Nah, bagi Anda yang mau lihat hari pasaran dan weton pada tanggal tertentu, maka Anda bisa cek secara online melalui tool di bawah ini
Sistem penanggalan ini awalnya digunakan secara resmi oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahan yang mendapat pengaruhnya. Saat itu, terdapat dua sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram, yaitu kalender Masehi dan kalender Jawa. Kalender Masehi digunakan agar urusan administrasi kerajaan dapat selaras dengan kegiatan sehari-hari masyarakat umum, sedangkan kalender Jawa digunakan sebagai patokan penyelenggaraan upacara-upacara adat kerajaan.
Kalender Jawa juga disebut sebagai Kalender Sultan Agungan karena diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645). Sultan Agung adalah raja ketiga dari Kesultanan Mataram. Saat itu, masyarakat Jawa menggunakan kalender Saka yang berasal dari India. Kalender Saka didasarkan dari pergerakan matahari (solar), berbeda dengan kalender Hijriah atau kalender Islam yang didasarkan kepada pergerakan bulan (lunar). Oleh karena itu, perayaan-perayaan adat yang diselenggarakan oleh kerajaan tidak selaras dengan perayaan-perayaan hari besar Islam.
Sultan Agung menghendaki agar perayaan-perayaan tersebut dapat diselenggarakan bersamaan. Untuk itulah, diciptakan sebuah sistem penanggalan baru yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriah. Sistem penanggalan inilah yang kemudian dikenal sebagai kalender Jawa atau kalender Sultan Agungan.
Kalender ini meneruskan tahun Saka, tetapi melepaskan sistem perhitungan yang lama dan menggantikannya dengan perhitungan berdasarkan pergerakan bulan. Dikarenakan pergantian tersebut tidak mengubah dan memutus perhitungan dari tatanan lama, pergeseran peradaban ini tidak mengakibatkan kekacauan, baik bagi masyarakat maupun bagi catatan sejarah.
Penanggalan ini memiliki keistimewaan karena memadukan beberapa sistem, yaitu sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan sedikit dari sistem penanggalan Julian yang merupakan dari bagian budaya Barat. Jadi, lahirnya sistem penanggalan Jawa merupakan kolaborasi dari penanggalan-penanggalan tersebut.
Dekrit dari Sultan Agung itu berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram, yaitu seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali Banten, Batavia, dan Blambangan (Banyuwangi). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.
Sistem penanggalan yang dipelopori oleh Sultan Agung ini juga disebut penanggalan Jawa Candrasangkala atau perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran bulan mengitari bumi. Walaupun mengadopsi sistem penanggalan Hijriah, terdapat perbedaan hakiki antara sistem perhitungan penanggalan Jawa dengan penanggalan Hijriah.
Perbedaan yang mendasar adalah pada saat penetapan pergantian hari ketika pergantian sasi (bulan). Candrasangkala Jawa menetapkan bahwa pergantian hari ketika pergantian sasi waktunya adalah tetap, yaitu pada saat matahari terbenam (surup antara 17.00–18.00), sedangkan pergantian hari ketika pergantian bulan pada penanggalan Hijriah ditentukan melalui hilal dan rukyat.
Siklus Hari Pasaran dalam Penanggalan Jawa
Saptawara atau padinan terdiri atas tujuh hari dihubungkan dengan sistem bulan-bumi. Siklus tujuh hari ini bersamaan dengan siklus mingguan dalam kalender Masehi, yaitu Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Solah (gerakan) dari bulan terhadap bumi, berikut adalah nama dari ketujuh nama hari tersebut:
- Radite - Ngahad, melambangkan meneng (diam);
- Soma - Senen, melambangkan maju;
- Hanggara - Selasa, melambangkan mundur;
- Buda - Rebo, melambangkan mangiwa (bergerak ke kiri);
- Respati - Kemis, melambangkan manengen (bergerak ke kanan);
- Sukra - Jemuwah, melambangkan munggah (naik ke atas);
- Tumpak - Setu, melambangkan tumurun (bergerak turun).
Hari-hari pasaran merupakan posisi patrap (sikap) dari bulan, yaitu sebagai berikut:
- Kliwon - Kasih, melambangkan jumeneng (berdiri);
- Legi - Manis, melambangkan mungkur (berbalik arah ke belakang);
- Pahing - Jenar, melambangkan madep (menghadap);
- Pon - Palguna, melambangkan sare (tidur);
- Wage - Cemengan, melambangkan lenggah (duduk).
Siklus Bulan dalam Penanggalan Jawa
Nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra (lunar). Penamaan bulan sebagian berkaitan dengan hari-hari besar yang ada dalam bulan Hijriah. Seperti Pasa yang berkaitan dengan puasa Ramadan, Mulud yang berkaitan dengan Maulid Nabi pada bulan Rabiulawal, dan Ruwah yang berkaitan dengan Nisfu Sya’ban saat amalan dari roh selama setahun dianggap dicatat.
- Bulan Sura , 30 hari
- Bulan Sapar 29 hari
- BulanMulud atau Rabingulawal 30 hari
- BulanBakda Mulud atau Rabingulakir 29 hari
- Bulan Jumadil awal 30 hari
- Bulan Jumadil akir 29 hari
- Bulan Rejeb 30 hari
- Bulan Ruwah (Arwah, Saban) 29 hari
- Bulan Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan) 30 hari
- Bulan Sawal 29 hari
- Bulan Séla (Dulkangidah, Apit)*) 30 hari
- Bulan Besar (Dulkahijjah) 29/30 hari
- Warana - Sura, artinya rijal;
- Wadana - Sapar, artinya wiwit;
- Wijangga - Mulud, artinya kanda;
- Wiyana - Bakda Mulud, artinya ambuka;
- Widada - Jumadilawal, artinya wiwara;
- Widarpa - Jumadilakir, artinya rahsa;
- Wilapa - Rejeb, artiya purwa;
- Wahana - Ruwah, artinya dumadi;
- Wanana - Pasa, artinya madya;
- Wurana - Sawal, artinya wujud;
- Wujana - Séla, artinya wusana;
- Wujala - Besar, artinya kothong.
Nama alternatif bulan Dulkangidah adalah Sela atau Apit. Nama-nama ini merupakan peninggalan nama-nama Jawa Kuno untuk nama musim ke-11 yang disebut sebagai Apit Lemah. Séla berarti batu; yang berhubungan dengan lemah yang berarti adalah “tanah”.
- Tanggal 14 bulan Jawa dinamakan dengan purnama sidhi, bulan terlihat penuh melambangkan orang dewasa yang telah bersuami atau beristri;
- Tanggal 15 bulan Jawa dinamakan dengan purnama, bulan terlihat masih, penuh tetapi sudah ada tanda ukuran dan cahayanya sedikit berkurang;
- Tanggal 20 bulan Jawa dinamakan dengan panglong, ini dimaknakan dengan seseorang yang sudah mulai kehilangan daya ingatannya;
- Tanggal 25 bulan Jawa dinamakan dengan sumurup, ini dimaknakan dengan seseorang yang sudah mulai diurus hidupnya oleh orang lain atau kembali layaknya seorang bayi;
- Tanggal 26 bulan Jawa dinamakan dengan manjing, ini dimaknakan dengan manusia kembali ke tempat asalnya lagi;
- Sisa hari sebanyak empat atau lima hari melambangkan saat ketika manusia akan mulai dilahirkan kembali ke kehidupan dunia yang baru.
Satu tahun dalam kalender Jawa memiliki umur 354 3/8 hari. Untuk itulah, terdapat siklus delapan tahun yang disebut sebagai windu. Dalam satu windu terdapat delapan tahun yang masing-masing memiliki nama tersendiri, yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Tahun Ehe, Dal, dan Jimakir memiliki umur 355 hari dan dikenal sebagai tahun panjang (Taun Wuntu), sedangkan sisanya 354 hari dikenal sebagai tahun pendek (Taun Wastu). Pada tahun panjang tersebut, bulan Besar sebagai bulan terakhir memiliki umur 30 hari.
Selain itu, terdapat siklus empat windu berumur 32 tahun, yaitu nama hari, pasaran, tanggal, dan bulan akan tepat berulang atau disebut tumbuk. Keempat windu dalam siklus itu diberi nama Kuntara, Sangara, Sancaya, dan Adi. Tiap windu tersebut memiliki lambang sendiri, yaitu Kulawu dan Langkir. Masing-masing lambang berumur delapan tahun, sehingga siklus total dari lambang berumur 16 tahun.
Pun demikian, masih ada perbedaan perhitungan antara tahun Jawa dan tahun Hijriah. Tiap 120 tahun sekali, akan ada perbedaan satu hari dalam kedua sistem penanggalan tersebut. Inilah yang membuat pada saat itu tahun Jawa diberi tambahan satu hari. Periode 120 tahun ini disebut dengan khurup.
Nama khurup yang berlangsung mengacu kepada jatuhnya hari pada 1 bulan Sura tahun Alip. Pada Khurup Asapon, tanggal 1 bulan Sura tahun Alip akan selalu jatuh hari Selasa Pon selama kurun waktu 120 tahun.
Wuku dan Neptu
Terkait dengan penanggalan Jawa, dikenal pula periode waktu yang dianggap menentukan watak dari anak yang dilahirkan, seperti halnya astrologi yang terkait dengan kalender Masehi. Periode ini disebut Wuku dan ilmu perhitungannya disebut sebagai Pawukon. Terdapat 30 Wuku yang masing-masing memiliki umur 7 hari, sehingga satu siklus Wuku memiliki umur 210 hari yang disebut Dapur Wuku.
Selain Wuku, terdapat juga Neptu yang digunakan untuk melihat nilai dari suatu hari. Ada dua macam Neptu, yaitu Neptu Dina dan Neptu Pasaran. Neptu Dina adalah angka yang digunakan untuk menandai nilai hari-hari dalam saptawara, sedangkan Neptu Pasaran digunakan untuk menandai nilai hari-hari dalam pancawara. Nilai-nilai ini digunakan untuk menghitung baik buruknya hari terkait kegiatan tertentu dan perwatakan seseorang yang lahir pada hari tersebut.
Sejak saat itu, Kesultanan Mataram dan penerusnya mampu menyelenggarakan perayaan-perayaan adat seirama dengan hari-hari besar Islam. Upacara-upacara tradisi seperti Garebeg tidak menjadi halangan bagi perkembangan Islam, tetapi malah dimanfaatkan sebagai syiar agama itu sendiri.
Sistem penanggalan baru ini merupakan upaya seorang pemimpin yang berpandangan jauh ke depan untuk menggabungan dua arus peradaban pada masa itu, sebuah rekonsilasi antara gelombang kebudayaan Islam dengan peradaban pra Islam. Peradaban baru yang kini dikenal sebagai Mataram Islam.
Implementasi Kalender Jawa
Masyarakat memandang bahwa kalender Jawa itu memiliki nilai kesakralan. Adapun ciri-ciri kesakralan itu adalah dihormati manusia, menimbulkan rasa takut, dijunjung tinggi, ditandai sifat ambigu, manfaatnya tidak dapat dinalar, memberikan adanya kekuatan, serta menekankan tuntunan dan kewajiban bagi para penganut dan pemujanya.
Terkait dengan adanya kepercayaan dan juga keyakinan terhadap suatu hal di dalam kalender Jawa, semua itu tergantung dengan pandangan masing-masing individu masyarakat yang menilai. Kami selaku redaktur hanya dapat mengambil sisi positif dari adanya kalender Jawa Islam di dalam kehidupan yang sudah kotemporer ini.
Nah, itulah penjelasan singkat mengenai "Asal-Usul, Siklus, dan Implementasi Sistem Penanggalan Jawa" yang kami kutip dari laman gramedia.com.