Ads Top

4 Fakta Mengerikan saat 6000 Ulama Dibantai oleh Sultan Amangkurat di Alun-alun Mataram

BINAJATI - https://binajati.blogspot.com

BINAJATI - Bila seorang penguasa telah menuhankan kekuasaannya, maka segala macam cara akan ia lakukan untuk mempertahankan kekuasaannya tersebut.

Dan penguasa dhalim itu pernah ada di tanah Jawa. Yaitu Sultan Amangkurat I di Kasultanan Mataram (Islam).

Demi ambisinya berkuasa, Sultan Amangkurat I menghalalkan cara-cara kotor untuk mempertahankan kekuasaannya. Termasuk dengan cara menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Memutar balikan kebenaran. Memadamkan keadilan hukum, hingga membunuh para ulama yang beroposisi dengannya.

Melansir dari laman Tirto.Id (Ivan Aulia Ahsan, 24 Oktober 2017), berikut sepak terjang Sultan Mataram Islam yang membantai kurang lebih 6000 ulama dan keluarganya.

Daftar 6.000 Ulama dan Keluarga yang Dibantai oleh Sultan Amangkurat I

Amangkurat I adalah putra mahkota Sultan Agung Hanyokro Kusumo yang naik tahta pada tahun 1645 setelah ayahandanya wafat.

Baca juga: 5 Fakta Mengejutkan tentang Etnis Moro di Filipina Selatan yang Tidak Banyak Diberitakan Media

Amangkurat I digambarkan sejarawan Merle C. Ricklefs dalam War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993) sebagai penguasa brutal tanpa sedikit pun keberhasilan atau kreativitas.

Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver; maka Amangkurat I adalah sosok pemimpin yang suka menuntut dan membantai (hlm. 31).

Selain itu, Amangkurat I mencoba membangun kekuasaan terpusat dengan tujuan menyenangkan kepentingannya sendiri.

Akibat perilakunya tersebut, Amangkurat I menjadi terasing dari semua aparatur pemerintahan. Yaitu dengan para pangeran, patih, tumenggung, dan pemuka agama.

Amangkurat I juga dianggap tidak memiliki kualitas kebajikan yang seharusnya dimiliki oleh seorang raja.

Dalam Serat Jaya Baya, Amangkurat I dilukiskan dengan metafora negatif. Yaitu Kalpa sru semune kenaka putung (masa kelaliman yang diibaratkan dengan kuku yang putus).

Masa lalim maksudnya kekejaman pemerintahan sang raja, dan kuku yang putus maksudnya banyaknya panglima yang dibunuh tanpa guna.

Alasan Dendam Kesumat Amangkurat I yang Menjadikannya Biadab

Saat itu ia baru dua tahun menduduki singgasana yang diwarisi dari ayahnya, Sultan Agung.

Amangkurat I menghabiskan malam di pendapa keraton Plered sembari berpikir keras, " Bagaimana cara terbaik untuk membalas dendam kepada mereka yang mbalelo?"

Dua hari sebelumnya terjadi insiden yang membuatnya murka. Pangeran Alit yang notabene adalah adik kandungny sendiri telah berbuat makar terhadap pemerintahannya. Berusaha menyerang istana untuk mendongkelnya dari tahta karena ketidak puasannya atas kebijakan -kebijakan yang dianggap dhalim oleh kebanyakan rakyat Mataram. Dan pada akhirnya adiknya tersebut tewas terbunuh.

Jelas Amangkurat I sangat senang atas tewasnya Pangeran Alit (adiknya)

Baca juga: 5 Ulama Oposisi Penguasa: dari Ibnu Rusyd hingga Gus Dur, dari Jaman Orde Lama hingga Orde Baru

Meski Pangeran Alit telah tewas, ada yang terus menggelayuti pikirannya.

Amangkurat I berfikir keras untuk membasmi kelompok yang selama ini dicurigai berkomplot dengan adiknya tersebut.

Akhirnya, pada suatu malam ia menemukan cara biadab untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak sepaham dengannya.

Amangkurat I memanggil empat orang pembesar keraton untuk menghadap. Ia merencanakan pembantaian tanpa menimbulkan kesan dialah otak di balik rencana itu.

Keempat orang tersebut adalah Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wirapatra.

Kepada para bawahannya, Amangkurat I memerintahkan mereka untuk menyebar ke empat penjuru mata angin. Hal tersebut seperti diungkap sejarawan H.J. de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram (hlm. 38).

Sang raja berpesan agar jangan ada seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram luput dari pembunuhan.

Dan agar rencana berjalan lebih baik; Amangkurat I memerintahkan pada orang-orang kepercayaannya tersebut untuk menyelidiki lebih dahulu nama, keluarga, dan alamat para pemuka agama yang akan dibinasakan tersebut.

Bagi Amangkurat I, hal ini siasat bagus agar para pengkhianat bisa dilibas dalam sekali pukul.

Ketika permufakatan keji mulai dilakukan, Amangkurat sengaja tidak menampakkan diri di luar keraton.

Semua sidang peradilan dan pisowanan yang melibatkan dirinya berpindah di dalam istana.

Baca juga:
• Ketika Buya HAMKA Membongkar Modus Khitan

• Sisi Lain Kehidupan Buya HAMKA

• Kebiasaan Kiai Abdullah Ubaid (Pendiri GP Ansor) yang Tidak Lazim di Zamannya: dari Hobi Naik Motor hingga Bermain Musik, dan Fakta Menarik Lainnya

Ia memilih berkonsentrasi penuh agar rencananya berlangsung dengan lancar.

Setelah semua informasi yang dibutuhkan sudah terkumpul, ia memberi perintah-perintah terakhir kepada empat orang itu. Ia meminta mereka agar bertindak sebaik-baiknya dan membunuh semua laki-laki, wanita, dan anak-anak.

Aba-aba dimulainya pembantaian berupa bunyi letusan meriam Ki Sapujagat yang terpasang di halaman keraton.

Fakta Sejarah: Banjir Darah Para Syuhada di Alun-Alun Keraton

Saat semua persiapan sudah dilakukan, pasukan pembantai pun mulai berangkat ke kediaman para calon korban.

Ketika pembantaian itu dilakukan, Amangkurat I cuci tangan dengan mengamankan dirinya masuk ke dalam keraton. Bersikap seolah-olah tidak terlibat dalam pembantaian tersebut.
★★★
Esok hari setelah pembantaian berlangsung, ia tampil di muka umum dengan wajah marah dan terkejut.

Selama satu jam di depan para pejabat, tidak satu patah kata pun terucap dari mulutnya. Semua orang yang hadir pun diam dan suasana kian mencekam.

“Tidak seorang pun berani mengangkat kepalanya, apalagi memandang wajah Amangkurat I,” catat van Goens. Dan di sinilah kedegilan Amangkurat I makin terlihat.

Setelah mengucap beberapa kalimat yang menuduh para ulama yang bersalah atas kematian Pangeran Alit, sehingga pantas mendapat balasan setimpal, maka ia memerintahkan delapan pembesar yang dicurigai untuk diseret ke hadapannya.

Mereka dipaksa mengaku telah merencanakan makar kepada Amangkurat I dengan mengangkat Alit menjadi raja.

Dalam situasi macam itu, tak ada yang bisa mereka lakukan selain mengaku. Delapan pembesar itu akhirnya bernasib sama dengan para ulama. Mereka beserta seluruh keluarganya dibunuh.

Sang raja kemudian masuk kembali ke dalam keratonnya dengan penuh amarah.

Seperti dicatat van Goens, “Ia meninggalkan semua pembesar yang sudah tua dan diangkat semasa pemerintahan ayahnya itu dalam suasana tercekam dan penuh kekhawatiran.”
★★★
Tidak ada sumber sejarah lokal yang menyebut bagaimana pembantaian tersebut berlangsung. 

Babad-babad Jawa semuanya membisu ketika memasuki fase paling mengerikan dalam sejarah Mataram ini. 

Satu-satunya sumber yang bisa diandalkan hanyalah catatan Rijcklofs van Goen, pejabat VOC yang saat itu berdinas di Mataram, yang kemudian diterbitkan dalam De vijf gezantschapsreizen naar het hof van Mataram.

Dan yang pasti, pembantaian berlangsung amat cepat, hanya dalam waktu kurang dari 30 menit. 

Hari itu, di suatu siang yang terik tahun 1648, sekitar 6000 ulama dan keluarga mereka yang menetap di wilayah kekuasaan kerajaan Mataram harus mati karena kekejian sang raja.

Mengutip keterangan van Goens dalam catatannya, H.J. de Graaf menggambarkan: “Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.”

Despot yang Mati dalam Pengasingan

Masa pemerintahan Amangkurat I memang dikenal sebagai zaman paling kelam dalam sejarah Jawa modern. Bukan hanya lantaran kelaliman rajanya, tapi juga mulai menampakkan tanda-tanda jika Kerajaan Mataram sudah melemah. VOC makin kuat di pantai timur laut Jawa. Sementara basis-basis ekonomi kerajaan kian tergerus oleh agresivitas maskapai dagang Belanda itu.
Dalam babad Jawa, kedhaliman seorang penguasa adalah pertanda datangnya periode dekadensi sebuah negara. Raja yang mabuk dengan kekuasaannya dengan berbuat dhalim kepada rakyat dan para ulama adalah sebagai tanda-tanda pralaya (masa kehancuran).
Rahasia Kematian yang Hina Si Algojo Para Ulama

Babad Tanah Jawi melukiskan kejatuhan Amangkurat I dalam deskripsi yang muram.

Pada saat itu perilaku Sri Baginda berbeda dari yang biasa; sering menghukum dengan keras, dan terus-menerus melakukan kekejaman.

Semua rakyat Mataram merasa cemas. Gerhana matahari dan bulan kerap terjadi, hujan turun tak sesuai musim, bintang berekor terlihat tiap malam.

Hal tersebut adalah tanda-tanda kerajaan menghadapi keruntuhan. Dan akhirnya Mataram benar-benar runtuh.

Semua itu berawal dari seorang pangeran dari Madura (Pangeran Truna Jaya) yang sudah muak dengan kekejaman Amangkurat I.

Trunajaya menggalang people power untuk menyerbu keraton Mataram pada awal 1677.

Baca juga: Ki Ageng Suryo Mentaram: Pangeran yang Memilih Jalan Sufi & Fakta Menarik Lainnya

Keraton berhasil diduduki oleh oposisi dari Madura. Yaitu laskar dari pasukan Truna Jaya.

Amangkurat I dan keluarganya pun berhasil melarikan diri. Mereka menuju Batavia untuk meminta perlindungan VOC.

Akhir cerita, Amangkurat I tewas di daerah Banyumas dalam perjalanannya menuju Batavia. Hal tersebut terjadi pada pertengahan 1677. Jenazah despot Mataram ini pun kemudian dikubur di daerah Tegal.

Sumber:
Tirto.Id - Saat 6.000 Ulama dan Keluarga Dibantai oleh Sultan Mataram Islam
4 Fakta Mengerikan saat 6000 Ulama Dibantai oleh Sultan Amangkurat di Alun-alun Mataram 4 Fakta Mengerikan saat 6000 Ulama Dibantai oleh Sultan Amangkurat di Alun-alun Mataram Reviewed by Tabib Wira on September 21, 2021 Rating: 5